Disaat
kaum perempuan ‘modern’ menyadari dan disertai dengan keterkejutan yang luar
biasa, bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia ini perempuan berhak dan
mempunyai kesetaraan hidup dengan laki-laki melalui pengenalannya dengan
gerakan kesetaraan ‘gender’ di Barat serta merta mereka memandang Islam sebagai
musuh kaum perempuan.
Mengapa
harus Islam yang menjadi tumpahan kemarahan kaum perempuan? Kenapa tidak
menoleh ke sejarah Jepang misalnya seperti yang ditulis Bung Karno dalam
‘Sarinah’ Atau kemarahan itu tidak kepada Nietzshe atau Colette Dowling? Juga
kepada para ibu di seluruh Bumi, karena dari mereka pertumbuhan bayi laki-laki
maupun perempuan dapat menegaskan dirinya setelah dewasa?
Daftar
kemarahan itu amat panjang dan ujung-ujungnya dapat saja protes itu
sebenarnya ‘protes’ kepada Islam.
Feminisme
Istilah feminisme pertama kali muncul dan dipakai oleh para pendukung ‘pembebasan wanita’ berkenaan dengan keinginan mewakili gagasan-gagasan penulis ‘pencerahan’ yang digemari oleh Mary Wollstonecraft. Feminisme digerakkan oleh perasaan ketidakadilan dalam diri kaum perempuan yang merasa tersinggung atas penganugerahan hak-hak tertentu kepada kaum laki-laki (Jill Stepenson, 1995).
Istilah feminisme pertama kali muncul dan dipakai oleh para pendukung ‘pembebasan wanita’ berkenaan dengan keinginan mewakili gagasan-gagasan penulis ‘pencerahan’ yang digemari oleh Mary Wollstonecraft. Feminisme digerakkan oleh perasaan ketidakadilan dalam diri kaum perempuan yang merasa tersinggung atas penganugerahan hak-hak tertentu kepada kaum laki-laki (Jill Stepenson, 1995).
Sentuhan
feminisme di Indonesia ketika Raden Ajeng Kartini (1879-1904) kagum dengan
hiruk pikuknya gerakan pembebasan wanita di Barat. Peristiwa akulturasi budaya
ini tidak ada artinya seandainya kumpulan surat-surat Kartini yang ditujukan
kepada teman-temannya –kebanyakan orang-orang Belanda– tidak diterbitkan oleh
Mr.J.H.Abendanon pada tahun 1911, yang diberi judul “Door Duitsternis Tot
Licht”
Dari
kumpulan surat-surat itu (sebenarnya ada banyak surat yang di-edit dan tidak
diterbitkan oleh Abendanon) rupanya pemahaman Kartini tentang kedudukan wanita
di Barat tidak lebih sama dengan peran wanita di lingkungan tembok-tembok
‘kadipaten’ tempat tinggalnya, yang memperoleh ketidakadilan dari laki-laki.
Padahal di luar tembok ‘bangsawan jawa’ di wilayah Jepara bagian atas,
anak-anak perempuan setiap sore berangkat ‘ngaji’. Bahkan Kartini tidak faham
sejarah bahwa Ratu Kalinyamat pernah mengerahkan tentaranya ‘berjihad’ ke Ambon
bersama ‘tentara Pasuruan’ untuk mengusir Portgis pada tahun 1554. (H.J.De
Graaf, “Awal Kebangkitan Mataram”, 1985, dalam Kaji Karno, “Pasuruan dalam
Singgungan Sejarah Nusantara: Essay Sosio Kultural” belum diterbitkan).
Beberapa
aktivis perempuan Indonesia memberi status ontologik feminisme dengan memandang
Islam sebagai hambatan emansipasi perempuan. Fenomena ini mudah diduga, karena
pandangan bahwa Islam sebagai faktor yang melegimitasi dominasi laki-laki atas
perempuan, diwarisi oleh jalan fikiran Kartini yang diadopsi dari pemahaman
makna, simbol-simbol sosial di lingkungannya, dipadukan dengan ‘mode’
masyarakat Eropa pada periode feminisme ‘klasik’. Ide-ide feminisme yang
berasal dari ‘pencerahan’ yang memiliki keyakinan tentang perlunya membebaskan
individu dari tekanan kekuasaan dan agama (baca: Islam).
Hal
ini terekam dengan baik yaitu surat yang dikirimkan kepada nyonya Nellie van
Kol, Agustus 1901, “Kami telah melihat banyak sekali keadaan yang menyedihkan
dalam perkawinan Jawa. Hal ini berhubungan erat dengan hak laki-laki yang
sangat kejam dalam hukum Islam. Penderitaan perempuan dalam ikatan semacam itu,
dan penderitaan sejumlah anak yang lahir dari perkawinan itu telah membakar dan
mencambuk jiwa kami untuk memberontak melawan keadaan itu” (Sulastin Sutrisno,
“Surat-Surat Kartini”, 1985, hal.121).
Prasangka
terhadap agama (baca:Islam) pada periode feminisme ‘klasik’ era Raden Ajeng
Kartini jejak-jejaknya masih tampak jelas dan sedang ditapaki oleh aktivis perempuan
Indonesia pada hari ini.
Dalam
wawancara di Journal ‘Ulumul Qur’an no.3 vol.VI, tahun 1995, Wardah Hafidz
menagatakan: ‘selama ini perempuan selalu disefinisikan melalui konsep fiqih
dengan memakai landasan tafsir yang mengandung bias misogini (kebencian
terhadap perempuan. pen.). Seperti yang dikatakan Sashiko Murata dalam bukunya,
‘The Tao of Islam’ berpandangan bahwa sebaiknya para aktivis feminisme perlu
mempelajari Islam secara tuntas, karena otoritas tertinggi dalam Islam adalah
al Qur’an dan As Sunnah, bukan oleh lembaga-lembaga agama, semisal lembaga
gereja dalam agama Kristen.
Persoalannya
bukan lantaran kurangnya pengetahuan tentang Islam, dan memang tidak diperlukan
mereka, karena tujuan satu-satunya adalah ‘melawan Islam’, dan
memposisikan Islam sebagai medan pertempurannya.
Kegairahan-kegairahan
sejak zaman Kartini hingga ‘demo-demo banci’ atau statemen pejabat pemerintah
yang anti FPI (Islam) dan ‘mendorong’ dibubarkannya FPI sebetulnya adalah
‘hidden resistense’ terhadap Islam dengan berbagai isu yang seakan-akan berbeda
satu sama lain. Ghoirul Islam dalam memandang Islam sebagai sasaran, tidak mempedulikan;
apakah Islam ‘salafi’, ‘wahabi’, sunny, syi’ah, NU, atau Muhammadiyah. Pokoknya
Islam. Memang tidak dipungkiri ada satu atau dua lembaga Islam yang mau dan
memang ‘ingin’ dijadikan ‘gedibal’ ghoirul-Islam.
Kegairahan
semacam ini yang ditangkap oleh Raden Ajeng Kartini yang selanjutnya dipakai
untuk mengkritisi masyarakat dan agamanya (Islam). Kesadaran feminism Kartini
yang semula bersifat logos mengalami metamorphosis menjadi mitos oleh keinginan
pengagum-pengagumnya. Mitos banyak didefinisikan oleh para ahli mulai dari
E.Bethe, Ernst Cassirer, Stoics, George Sorel, Talcott Parson, sampai kepada
Van der Leew.
Mitos Kartini
Mitos
merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial, dan dianggap sebagai
‘filsafat primitif’. Mitos merupakan simbol emosional. ‘Ritual’ pemujaan kepada
Raden Ajeng Kartini merupakan pengulangan ‘sentimen’ secara ‘ajeg’ dan berguna
untuk memperkuat solidaritas kelompok. Untuk konteks Jawa, kebutuhan-kebutuhan
itu berhubungan dengan sosialisasi sebuah panutan simbol ‘abangan’ dan
‘priyayi’, yang keduanya merupakan kategorisasi struktur sosial. Abangan dan
priyayi sama-sama menganut ‘kepercayaan asli’, hanya saja, ‘abangan’ adalah
‘sudra’ dan ‘priyayi’ menempati strtata yang lebih tinggi dalam format sosial
‘kejawen’.
Ketidak
fahaman Kartini terhadap Islam, dimanfaatkan oleh masyarakat ‘non-santri’.
“Tentang ajaran Islam tidak dapat saya ceritakan Stella” demikian suratnya
tertanggal 6 Nopember 1899. “Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya,
maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana” Dan
dalam surat yang sama Kartini mengeluh; “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap,
alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama”
Sampai
hari ini di kalangan masyarakat yang merasa mempunyai kesamaan ‘nilai’ dengan
RA Kartini, tidak mempedulikan apakah-apakah ide-ide itu sudah usang atau dalam
banyak hal telah dipertanyakan tentang orisinalitasya, yang penting adalah
bahwa kartini adalah simbol ‘resistensi’ terhadap Islam, semacam munculnya
tokoh ‘Syeh Siti Jenar’ di zaman ‘Walisongo’ atau setidak-tidaknya ‘kepuasan
aneh’ itu terpenuhi.
Gerakan
feminisme di Indonesia menjadikan Kartini sebagai ‘mitos’, dan di dalam segala
hal mereka berlindung di bawah bayang-bayang Kartini, juga sebagai dasar titik
tolak protes-protes mereka, penolakan mereka terhadap kodrat perempuan;
bersuami, melahirkan, dan mahluk yang lemah.
Bagaimanapun,
Kartini memperoleh kesadaran keperempuanannya dihari-hari terakhir hidupnya. Sepuluh
hari sebelum kematiannya, Kartini mengirim surat kepada Nyonya R.M. Abendanon
–yang biasa dipanggil ibu- tertanggal Rembang, 7 September 1904.
“Apa
artinya lama ketika merasa kesakitan, bila bahagia yang demikian manisnya
menjadi pahalanya? Saya sudah rindu benar menanti tangkai hati saya yang kecil
itu” dan dilanjutkan dengan, “Keranjang popok, tempat tidur, semuanya siap di
kamar kami menunggu kedatangan buah hati kami”
Pertanyaannya
sekarang adalah; masihkah aktifis feminisme yang memperjuangkan kesetaraan
gender diantaranya; menuntut perempuan jadi imam sholat yang makmum-nya
laki-laki? Masihkan menggugat dan menghapus ‘lembaga perkawinan’, masihkan melarang
wanita melahirkan?
Dan,
masihkah Kartini dijadikan ‘mitos’ dan simbol kesetaraan gender oleh ‘bangsawan
jawa’ dan kaum aktivis perempuan ? Ibu kandung Kartini, Ibu Ngasirah, adalah
putri seorang Kyai dari Mayong, bahwa Kartini selalu melihat ‘ibu kandungnya’
istri Bupati Jepara yang notabene istri pertama (‘Garwo Padmi) diperlakukan seperti
‘babu’ mengasuh anak dari ‘istri kedua bupati’, dan selalu diposisikan di
dapur.
Menjadi
jelas, bahwa adat ‘bangsawan Jawa’-lah yang menyebabkan perkawinan jawa
merendahkan perempuan. Bukan hukum Islam.
Kaji
Karno
Budayawan Muslim, tinggal di Pasuruan, Jawa Timur
Budayawan Muslim, tinggal di Pasuruan, Jawa Timur

Tidak ada komentar:
Posting Komentar